Aku lahir di bawa pohon besar dan rindang ini, tentu saja dari rahim ibu ku. Beliau berkata bahwa ketika tubuh ku lengkap untuk keluar melalui mulut rahimnya, tangisan rasa dingin dan haus membuat jantung beliau perlahan mulai normal. “anak ku..”, berbisik dan menangis bahagia. Bidan yang membantu kelahiran beliau, langsung membungkus badan ku dengan kain hangat setelah dibersihkan dari darah yang menempel di badan. Setelah mereka merasa aku sudah cukup cantik dengan balutan kain berwarna biru, dengan lembut, mereka meletakkan badan kecil mungil di pelukan ibu. “oh..anak ku, kau terlihat sehat dan lucu (sembari tersenyum)..bidan, anak ku ini laki-laki atau perempuan??”, rasa penasaran ibu terhadap aku. “anak ibu perempuan..lihat lah raut dan rahangnya..dia cantik bukan??”, jawab bidan sembari tersenyum lembut. “terima kasih bidan..aku yakin dia cantik seperti ibunya”, ibu bangga mengatakan itu.
Perjalanan dari lahir hingga kini, menyisihkan cerita tersendiri bagi ku dan orangtua ku. Kenakalan demi kenakalan telah terurai indah sebagai cerita pelengkap sore yang semilir. Tentu saja anak yang nakal, akan mendapat hukuman dari orangtua..menyebalkan, tapi ini memang membuat mereka kesal. Anggap ini adalah resiko dari perbuatan yang telah aku lakukan..tidak separah dibayangkan, hanya rasa ingin tahu membuat aturan dilanggar. Tak perlu pusing mencari jika ingin menemukan ku dalam keadaan menangis..tentu saja teman setia akan di kunjungi..pohon besar tempat kelahiran. Jika ibu tak mampu menjadi pendengar keluh, pohon inilah singgah kedua sebagai pendengar setia. Dia tak akan menjawab semua pertanyaan, tetapi mampu memberi kesejukan tersendiri. Dalam perjalanan kembali kerumah, nyanyian kecil keluar dari mulut sembari melepas tawa dan bahagia..tapi, sesampainya dirumah, hanya bisa melepas sedikit senyum untuk mereka, orangtua ku..hingga lari ke kamar dan menguncinya dari dalam.
Menikmati umur yang tak lagi muda, memberikan beban dan timbul tanggung jawab besar. Aku lelah dan jenuh dengan penilaian mu, aku tak lagi sependapat dan sepemikiran. Mengertilah bahwa aku punya pohon besar yang hingga kini tak/belum rapuh dengan usianya..hati ini merintih dan ingin berteriak. Ketika gejolak hati, ketidak stabilan emosi mendominasi, aku menyebut nama baliau..”ibu..maafkan aku, selalu membuat mu menangis dan sedih..tidak ada maksud untuk menyakiti hati, tapi aku tak lagi sepemikiran dengannya..maaf ibu, aku belum bisa membahagiakan kalian..tak ada maksud lain selain ingin membuat mu tersenyum, ibu..Tuhan, lindungilah beliau dari segala keburukan..berilah kesabaran dan ketenangan pada hatinya..berikanlah kebahagiaan kepada beliau jika aku tidak mampu lagi..alihkan rasa sakit beliau kepada ku..hanya tak ingin melihat dia menangis karna ku..”,kataku dalam isak tangis doa.
Ibu, jika kau tak dapat menemukan ku di banyak tempat, temukan aku di pohon besar yang berakar kuat sebagai rumah kelahiran ku. Kisahnya mirip dengan mu, ibu..disinilah keluh kesah aku tuangkan, walaupun pohon ini tak lagi sedang mendengar..tetapi, kokoh dan tenangnya mirip dengan mu..kalian penuh dengan maaf..
Depok, 20 November 2010
Perjalanan dari lahir hingga kini, menyisihkan cerita tersendiri bagi ku dan orangtua ku. Kenakalan demi kenakalan telah terurai indah sebagai cerita pelengkap sore yang semilir. Tentu saja anak yang nakal, akan mendapat hukuman dari orangtua..menyebalkan, tapi ini memang membuat mereka kesal. Anggap ini adalah resiko dari perbuatan yang telah aku lakukan..tidak separah dibayangkan, hanya rasa ingin tahu membuat aturan dilanggar. Tak perlu pusing mencari jika ingin menemukan ku dalam keadaan menangis..tentu saja teman setia akan di kunjungi..pohon besar tempat kelahiran. Jika ibu tak mampu menjadi pendengar keluh, pohon inilah singgah kedua sebagai pendengar setia. Dia tak akan menjawab semua pertanyaan, tetapi mampu memberi kesejukan tersendiri. Dalam perjalanan kembali kerumah, nyanyian kecil keluar dari mulut sembari melepas tawa dan bahagia..tapi, sesampainya dirumah, hanya bisa melepas sedikit senyum untuk mereka, orangtua ku..hingga lari ke kamar dan menguncinya dari dalam.
Menikmati umur yang tak lagi muda, memberikan beban dan timbul tanggung jawab besar. Aku lelah dan jenuh dengan penilaian mu, aku tak lagi sependapat dan sepemikiran. Mengertilah bahwa aku punya pohon besar yang hingga kini tak/belum rapuh dengan usianya..hati ini merintih dan ingin berteriak. Ketika gejolak hati, ketidak stabilan emosi mendominasi, aku menyebut nama baliau..”ibu..maafkan aku, selalu membuat mu menangis dan sedih..tidak ada maksud untuk menyakiti hati, tapi aku tak lagi sepemikiran dengannya..maaf ibu, aku belum bisa membahagiakan kalian..tak ada maksud lain selain ingin membuat mu tersenyum, ibu..Tuhan, lindungilah beliau dari segala keburukan..berilah kesabaran dan ketenangan pada hatinya..berikanlah kebahagiaan kepada beliau jika aku tidak mampu lagi..alihkan rasa sakit beliau kepada ku..hanya tak ingin melihat dia menangis karna ku..”,kataku dalam isak tangis doa.
Ibu, jika kau tak dapat menemukan ku di banyak tempat, temukan aku di pohon besar yang berakar kuat sebagai rumah kelahiran ku. Kisahnya mirip dengan mu, ibu..disinilah keluh kesah aku tuangkan, walaupun pohon ini tak lagi sedang mendengar..tetapi, kokoh dan tenangnya mirip dengan mu..kalian penuh dengan maaf..
Depok, 20 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar